Minggu, 30 Maret 2014


Gajah dan Jerapah

 
 
Suatu hari di sebuah hutan, hiduplah seekor gajah dan seekor jerapah. Mereka saling mengenal satu sama lain bahkan sangat dekat. Sampai suatu hari, semua itu berubah. Suatu hari, jerapah merasa sangat lapar tetapi di hutan tempat ia tinggal tidak ada apapun untuk dimakan. Saat ia melihat ke langit, dia pun memutuskan untuk memakan matahari. Namun, saat ia hendak menggiggitnya, matahari mendadak turun. Ternyata matahari menjadi turun karena matahari itu dinaiki oleh seekor gajah.

“Gajah, turun! Aku mau menggiggit matahari!”

“Maafkan aku, tapi aku harus menyelamatkan burung kecil yang terjebak” Sambil memegang burung kecil.

“Tapi kau sudah melanggar hak ku untuk makan”

“Maafkan aku, tapi burung ini pun memiliki hak yang sama untuk hidup”

“Pokoknya aku tidak mau tahu. Aku akan laporkan kamu kepada raja hutan!”

Akhirnya jerapah pun melaporkan apa yang telah terjadi.

“Tuan singa sang raja hutan, aku mengeluh karena suatu hal.”

“Apa yang kau inginkan?”

“Tadi aku hendak memakan matahari, tetapi gajah menggangguku. Aku merasa dirugikan karena hak ku untuk makan sudah diganggu oleh gajah.”

“Baiklah aku akan menegur gajah sekarang juga.”

Singapun akhirnya menghampiri gajah.

“Gajah, kau harus bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan terhadap jerapah!”

“Apa yang sudah aku lakukan? Apakah aku mengganggu jerapah?”

“Ya. Kamu telah melanggar hak jerapah untuk mencari makan.”

“Tetapi aku hanya menyelamatkan burung kecil yang terjebak diatas matahari. Burung ini pun memiliki hak untuk hidup.” Jelasnnya.

“….” Singa hanya terdiam dan bepikir.

“Jika kau mencari informasi yang tepat, tanyakan saja pada matahari mengapa ia menjebak burung kecil.”

“Baiklah. Aku akan pergi ke tempat matahari berada.”

Setelah itu, singa datang mendatangi matahari.

“Matahari!”

“Ada apa raja?”

“Mengapa kamu menjebak burung kecil?”

“Aku tidak menjebaknya.”

“Aku punya bukti. Gajah menyelamatkan burung kecil yang kau jebak.”

“Aku tidak bermaksud menjebaknya. Angin menghembuskan burung kecil sehingga ia terjebak. Jika kau mau menyalahkan, salahkan saja angin. Dialah yang harus bertanggungjawab atas terjebaknya burung kecil.”

“Baiklah. Aku akan pergi menemui angin.”

Akhirnya singa pergi meninggalkan matahari dan menemui angin.

“Angin, aku ingin berbicara kepadamu!” Bentak sang raja rimba itu.

“Ada apa yang mulia?”

“Mengapa kau telah menghembuskan burung kecil sehingga terjebak di atas matahari?”

“Aku tidak menghembuskannya!” Ketusnya.

“Lalu apa yang kau perbuat sehingga burung kecil terjebak?”

“Aku tidak berbuat apapun. Aku hanya berhembus begitu saja disaat tidak ada hujan. Udara kering membuatku bergerak.” Jelasnya. “Jika kau mencari tersangka, kau harus tanya pada hujan. Mengapa hujan tidk datang sehingga membuatku berhembus.”

Tanpa pikir panjang, singa mendatangi hujan.

“Hai hujan!” Bentaknya.

“Ada apa, Raja?”

“Mengapa kau tidak datang sehingga udara menjadi kering dan anginpun berhembus? Angin berhembus dan menjebak burung kecil sehingga ia terjebak di atas matahari dan hal itu menyebabkan gajah menyelamatkan burung dan mataharipun turun. Sedangkan jerapah hendak memakan matahari. Artinya kau telah melanggar hak jerapah untuk makan atau hak untuk bertahan hidup!” Jelas sang raja hutan.

“Te- tetapi aku tidak sengaja melakukannya.” Jawab hujan dengan gugup.

“Kau harus aku masukkan kedalam penjara.”

“T- tapi tuan, aku tak melakukan kesalahan apapun.” Ujar hujan.

Tidak seperti tersangka sebelumnya, hujan tidak dapat memberikan alasan yang memuaskan bagi raja hutan, singa. Akhirnya hujanpun dipenjara.

Sampai suatu hari, banjir menggenangi penjara dan menyebabkan hujan mengalir keluar dari penjara.

“Tuan! Tuan!”

“Ada apa?”

“Hujan kabur dari penjara, Tuan.” Ucap kedua buaya yang bertugas menjaga penjara.

“Mengapa hal itu bisa terjadi?”

“Banjir menggenangi penjara, Tuan. Hujan mengalir begitu saja dan tidak dapat kami bendung karena air yang datang terlalu deras, Tuan.”

“Dasar kalian ini budak yang tidak pandai!”

Singa pun berlari mengejar aliran banjir dan berbicara pada hujan yang sedang mengalir.

“Hujan! Beraninya kau kabur dari penjara.”

“Aku tidak kabur, yang mulia.”

“Lalu, mengapa kau berada di sini?”

“Itulah aku. Hujan itu sama saja dengan air, Tuan. Aku memiliki sifat mengalir. Aku tak bisa mengedalikan tubuhku karena aku tidak memiliki tangan ataupun kaki. Jika Tuan hendak mencari alasan yang lebih jelas, sebaiknya Tuan menanyakannya kepada banjir.” Jelas hujan.

Singa akhirnya bertanya pada banjir.

“Banjir! Mengapa kau menggenangi penjara sehingga hujan mengalir dan keluar dari penjara?”

“Aku hanya mengalir, Tuan. Bantaran sungai itu sudah lapuk dan retak. Hal itu menyebabkan air sungai keluar dari aliran dan akupun menggenangi seluruh tempat.”

Tanpa pikir panjang, Singa pun menghampiri bantaran sungai.

“Untuk kesekian kalinya aku mencari tersangka, bantaran sungai aku ingin bicara denganmu!”

“Ada apa, yang mulia?”

“Mengapa kau lapuk dan retak? Apakah kau tidak tahu kelapukan dan keretakanmu itu menyebabkan banyak masalah!” Jelas singa.

Tanpa pikir panjang, bantaran sungai hanya menjawab dengan satu kalimat.

“Sang raja tak memperbaikiku sehingga aku pun retak dan lapuk.”

Semua hewan yang ada di tempat itu menatap sang raja dengan tatapan tajam. Akhirnya semua hewan pun menarik singa ke penjara. Namun sang singa berusaha kabur.

“Aku raja kalian. Kalian tidak mungkin memenjarakan raja kalian sendiri! Akulah pemegang kekuasaan tertinggi!”

Singa pun kabur dari kerumunan hewan yang hendak memenjarakannya. Ia lari begitu cepat sampai hewan lain tak mampu mengejarnya.

Akhirnya singa menghilang dari hutan itu dan tidak dipenjara tentunya.